Indonesia dan Prancis. Kedua negara tersebut terlihat berbeda – namun memiliki persamaan mendasar jika dilihat dari bidang mode. Keduanya dibangun di atas fondasi yang kokoh: savoir-faire – sebuah istilah Prancis yang merujuk pada keahlian, pengetahuan, dan keterampilan mendalam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai ini tidak hanya menjadi pilar bagi industri haute couture di Prancis, tetapi juga beresonansi kuat dengan tradisi adiluhung yang dipegang teguh oleh para perajin di Indonesia.
Satu pertanyaan yang langsung terlintas di benak The Societies mengenai savoir-faire di antara kedua negara tersebut adalah: “Mengapa karya mode berasaskan savoir-faire dari luar negeri lebih cenderung mendapat sorotan dibanding produksi dalam negeri?”. Dari sudut pandang Indonesia, isu tersebut menjadi semakin pelik ketika karya-karya berlandaskan prinsip savoir-faire tersebut tidak mendapat panggung di kancah internasional. Biaya promosi yang tinggi, keterbatasan jaringan global serta kesenjangan pengetahuan pasar menjadi ironis apabila disandingkan dengan data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Republik Indonesia sebelum 2020 yang menyatakan bahwa subsektor fashion menyumbang sekitar 17% dari total ekonomi kreatif Indonesia – menunjukkan besarnya jumlah pelaku industri mode tanah air.
Savoir-Faire: Kompleksitas Simpul Budaya Mode Indonesia dan Prancis
Untuk memahami isu tersebut secara detail, nampaknya kita harus memahami dahulu adanya perbedaan signifikan antara konteks karya savoir-faire di Prancis dan Indonesia. Terlepas dari prinsip yang sama berupa perpaduan antara seni, ketekunan, dan spiritualitas, karya savoir-faire Prancis dapat menjadi terkenal di seluruh dunia karena didukung oleh sejarah, strategi, dan branding yang telah dibangun selama berabad-abad. Sebaliknya, meski Indonesia memiliki kekayaan ideologi yang sama, pengenalannya di panggung global masih menghadapi sejumlah tantangan.
Menilik sejarah, dominasi Prancis di dunia fashion dimulai sejak abad ke-17 di bawah pemerintahan Raja Louis XIV. Beliau menetapkan fashion sebagai alat diplomasi dan simbol kekuasaan di mana Haute Couture didirikan sebagai sistem yang melindungi dan mempromosikan keahlian tingkat tinggi. Dengan dukungan monarki dan – kemudian, pemerintah, industri mode Prancis dibangun di atas fondasi yang terpusat dan memiliki reputasi eksklusif.
Apabila fondasi dunia mode Prancis berupa eksklusifitas, bidang mode Indonesia didominasi batik dan tenun yang berkembang secara desentralisasi di berbagai wilayah – sering kali sebagai tradisi keluarga yang bersifat majemuk dan sederhana. Meskipun kaya secara budaya, karya-karya ini tidak pernah memiliki dukungan monarki yang terpusat atau struktur industri yang terorganisir untuk mempromosikannya sebagai komoditas global. Akibatnya, karya tersebut lebih dikenal sebagai warisan lokal atau kerajinan tangan – bukan produk mewah dengan nilai global.
Mari mengambil contoh dari brand fashion asal Prancis yang sering kita temui di pusat perbelanjaan Ibu kota seperti Chanel, Dior, dan Hermès. Ketiga brand tersebut berhasil menyamakan identitas jenamanya dengan kualitas tertinggi dengan membangun narasi di sekitar konsep kemewahan, keanggunan, dan keabadian (timeless) serta mendapat perlindungan aktif dari pemerintah sebagai bagian aset budaya nasional. Membangun branding yang kohesif dan narasi global seperti contoh tersebut tampak sulit dilakukan di Indonesia karena masalah infrastruktur, modal, dan jejaring yang dibutuhkan untuk menembus pasar global masih terbatas.
Apakah pemerintah Indonesia menutup mata mengenai hal tersebut? tentu tidak. Kemenparekraf dan Kemendag aktif mendukung keikutsertaan desainer dalam acara mode bergengsi skala global seperti Paris Fashion Week dengan tujuan mempromosikan merek dan produk Indonesia ke pembeli dan media internasional. Tidak berhenti di situ saja, berbagai program inkubasi dan pendampingan berfokus pada melatih desainer untuk memenuhi standar pasar global, membangun branding, dan menciptakan jejaring internasional mulai digalakkan pemerintah demi memajukan dunia mode lokal di kancah internasional. Dengan ragam program yang diadakan, pertanyaan baru kembali muncul di benak kami yaitu, “Seberapa efektif program-program tersebut dalam meningkatkan prestasi dunia mode Indonesia?”.
Diplomasi Mode: Kolaborasi Strategis dan Visioner

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita pahami adanya perbedaan utama antara desainer yang mengikuti program inkubasi mode dan yang hanya sekadar berpartisipasi di pekan mode luar negeri. Perbedaan ini terletak pada tujuan dan kedalaman persiapan peserta. Analogi sederhananya adalah program inkubasi seperti program pendidikan dan akselerasi bisnis yang komprehensif, sementara pekan mode lebih seperti ujian akhir di mana hanya hasil kerja yang dipresentasikan. Dengan kata lain, program inkubasi membangun kemampuan, sedangkan pekan mode memberikan kesempatan.
Berbicara mengenai program inkubasi, salah satu program yang memberikan bentuk nyata bagi pesertanya adalah PINTU Incubator. Jika Anda mencari contoh dari kerja nyata, program inkubasi inilah yang menggenapi kalimat tersebut melalui berbagai prestasi yang telah diraih. Apabila Anda masih ingat bahasan di paragraf empat yang menyatakan bahwa pembentuk kesuksesan dunia mode Prancis yang berasal dari pemerintahnya, salah satu pemrakarsa program ini adalah Kedutaan Besar Prancis melalui IFI (Institut Français d’Indonésie) yang merupakan lembaga resmi dari pemerintah Prancis yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan dan kerja sama Prancis di Indonesia. Singkat kata, PINTU Incubator menjadi jembatan utama yang menghubungkan kedua negara tersebut dalam bidang budaya dan fashion.
Sejak diluncurkan pada tahun 2022 , PINTU Incubator telah menjadi wadah pengembangan bagi desainer muda melalui proses kurasi, mentoring professional, pertukaran budaya, pengalaman profesional, dan eksposur ke pasar global, program ini menghubungkan para desainer muda dengan para ahli, institusi, dan ekosistem kreatif dari kedua negara. Dalam tiga tahun, PINTU telah menjaring lebih dari 10.000 brand yang tertarik, memilih 51 peserta terinkubasi, dan melibatkan 86 mentor ahli, termasuk 33 dari Prancis.
Sebagai program inkubasi, tentunya PINTU mengambil satu langkah besar yang berangkat dari hal yang sangat fundamental, yaitu edukasi. Sebagai bagian dari penguatan kerja sama internasional, PINTU menandatangani MoU kerjasama dengan École Duperré Paris – salah satu institusi seni dan mode terkemuka di Prancis. Penandatanganan yang dilakukan oleh Thresia Mareta, co-initiator PINTU Incubator dan Alain Soreil, Direktur École Supérieure des Arts Appliqués Duperré, ini berlangsung pada 28 Mei 2025 di Rumah Tradisional Kudus, Bentara Budaya, dan disaksikan langsung oleh Menteri Kebudayaan Prancis Rachida Dati serta Chairman JF3 Soegianto Nagaria ini layaknya pintu yang secara harafiah berarti pembuka jalan dalam majunya industri fashion tanah air di dunia internasional.
Tentunya, prestasi PINTU Incubator tidak terlepas dari kerja keras sang Co-initiator sekaligus Founder LAKON Indonesia – Thresia Mareta. Membahas PINTU dan programnya, The Societies sekejap teringat kepada interview profil yang kami lakukan di bulan Juli 2025 dengan Thresia di Lakon Store, Summarecon Mall Kelapa Gading. Salah satu keluh kesah yang Ia sampaikan adalah mengenai kesiapan desainer dan rencana jangka panjang yang cenderung absen setelah partisipasi di ajang Fashion Week global. Menurut beliau, masalah tersebut dapat dipecahkan melalui program inkubasi yang komprehensif.
Kerja keras Thresia dalam memajukan dunia fashion Indonesia – terutama secara bilateral dengan Prancis, membuahkan hasil di mana salah satunya pernyataan dari Presiden Emmanuel Macron yang secara khusus menyampaikan dukungannya terhadap program PINTU saat berpidato 29 Mei lalu di Candi Borobudur, Jawa Tengah. Beliau menyebut program inkubasi tersebut sebagai bentuk nyata kerja sama budaya yang perlu terus dikembangkan. “Saat Presiden Emmanuel Macron menyebut langsung program PINTU dalam pidatonya di Candi Borobudur, saya menyadari bahwa itu bukan hanya pengakuan atas program kami, tapi juga simbol kuat bahwa budaya, pendidikan, dan kreativitas bisa menyatukan dua bangsa.” ujar Thresia Mareta, Co-initiator PINTU Incubator dan Founder LAKON Indonesia.
Peran Desainer Muda dalam Kerjasama Bilateral Mode

Dalam era digitalisasi dan produksi massal, keberlanjutan savoir-faire bergantung pada generasi muda. Desainer muda bukanlah sekadar konsumen tren, melainkan pewaris yang bertanggung jawab untuk meneruskan dan menginterpretasikan ulang warisan ini. Melalui seluruh karya mereka, para desainer muda tersebut menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Tidak hanya menaruh fokus kepada desainer muda tanah air, PINTU Incubator turut memperhatikan desainer muda Prancis melalui Residency Program. Program ini merupakan program residensi untuk desainer muda Prancis yang dirancang untuk menciptakan pertemuan langsung antara kreativitas Prancis dan kekayaan budaya Indonesia.
Selama tiga bulan. peserta program akan tinggal serta berkarya di dua wilayah di Indonesia, yaitu mempelajari teknik batik di Jawa dan mengeksplorasi tenun tradisional di wilayah timur Indonesia.Tahun ini, dua desainer muda Prancis yang terpilih adalah Kozue Sullerot dan Priscille Berthaud. Kedua desainer tersebut menjalani magang di LAKON Indonesia, berkolaborasi menciptakan koleksi lintas budaya yang nantinya akan dipresentasikan di LAKON Store dan ajang bergengsi Premiere Classe Paris.
“Residency Program ini adalah langkah nyata kami untuk memperdalam kolaborasi lintas budaya. Melalui program ini mereka langsung bekerja dengan para artisan dan melakukan proses kreatif bersama. Mereka bukan hanya mendapat pelatihan teknis, tapi juga mendapatkan pengalaman profesional dan personal,” ujar Thresia Mareta. Chairman JF3 dan Co-initiator PINTU Incubator, Soegianto Nagaria, turut menyoroti perjalanan PINTU sebagai bagian dari komitmen jangka panjang JF3 dalam membina industri mode Indonesia. “Selama lebih dari dua dekade, JF3 terus mendorong pertumbuhan talenta muda, mengembangkan bisnis fashion, mengangkat pengrajin dan karya tangan tradisional, serta membuka peluang kolaborasi lintas industri dan lintas negara. Konsistensi ini mencerminkan komitmen kami untuk membangun ekosistem yang hidup dan berkelanjutan. Kami tidak hanya merayakan kreativitas, kami berinvestasi di dalamnya dan mengarahkannya ke pasar nyata serta eksposur global,” ujarnya.
Di perhelatan JF3 Fashion Festival 2025, PINTU Incubator juga mengumumkan tampilnya enam brand lokal yang terdiri dari CLV, Dya Sejiwa, Lil Public, Nona Rona, Rizkya Batik, dan Denim It Up. Sebagai hasil dari proses inkubasi selama enam bulan, ketiga brand ini mempresentasikan koleksi dalam sebuah show kolaboratif bertajuk “Echoes of the Future by PINTU Incubator featuring École Duperré”, pada Minggu (27/7) di Summarecon Mall Kelapa Gading. Yang menariknya, kolaborasi tersebut turut melibatkan tiga siswa dari École Duperré Paris: Pierre Pinget, Bjorn Backes, dan Mathilde Reneaux yang menjadi bentuk nyata dari kerjasama Indonesia dan Prancis dalam bidang mode.

Melalui program pertukaran langsung antara desainer Indonesia dan Prancis, pertemuan ini menghasilkan sebuah proses kreatif yang otentik. Para desainer Prancis mendapatkan pengalaman langsung dengan warisan budaya dan keahlian tangan tradisional seperti batik dan tenun, yang menjadi sumber inspirasi tak terbatas. Sebaliknya, desainer muda Indonesia berkesempatan untuk berkolaborasi dengan talenta internasional, memperluas perspektif artistik, dan menguji kemampuan mereka dalam konteks global. Melihat hal ini, program PINTU secara efektif menjembatani dua bentuk savoir-faire yang berbeda namun memiliki nilai yang sama. Savoir-faire Prancis – yang dikenal dengan presisi, teknik haute couture, dan standar profesionalisme, bertemu dengan savoir-faire Indonesia – yang terwujud dalam kerajinan tangan tradisional, detail batik, dan kekayaan tenun yang diwariskan turun-temurun.
Bagi desainer Indonesia, kolaborasi ini membantu melestarikan warisan budaya dengan cara yang inovatif melalui bagaimana mengolah hal-hal tradisional agar tetap relevan serta memiliki daya saing di panggung global dan mendapatkan validasi dari institusi sekelas École Duperré, yang membuka pintu ke berbagai kesempatan global. Sedangkan bagi desainer Prancis, program PINTU (dalam hal ini – Residency Program) dapat memperkaya teknik fashion Prancis dengan inspirasi baru melalui akses langsung ke teknik, bahan, dan filosofi yang tidak mereka temukan di Paris. Ini menjadi sumber kreativitas yang segar dan membantu industri mode Prancis untuk terus berevolusi dan tidak terjebak dalam gaya yang stagnan.
Revolusi Kreatif: Membentuk Masa Depan Melalui Jembatan Edukasi

Perlu diingat, edukasi memberikan fondasi yang komprehensif bagi industri fashion. Tanpa edukasi yang tepat, seorang desainer mungkin hanya memiliki bakat kreatif – tetapi akan kesulitan menghadapi tantangan dunia nyata. Sebab, fashion lebih dari sekadar pakaian – melainkan industri kompleks yang membutuhkan gabungan antara kreativitas, teknis, dan bisnis.
Contoh nyata dari hal tersebut adalah Alexander McQueen yang koleksi kelulusannya dibeli oleh seorang editor mode berpengaruh bernama Isabella Blow saat sang desainer masih bersekolah di Central Saint Martins, Alexander Wang yang memenangkan CFDA/Vogue Fashion Fund pada tahun 2008 atau Sang penyandang gelar master arsitektur, Virgil Abloh yang membuktikan bahwa inti dari edukasi adalah memberikan sebuah kerangka berpikir yang unik – terlepas dari bidang studinya. Berbagai kisah ini menunjukkan bahwa edukasi formal memberi landasan teknis yang tak tertandingi dan cara membangun merek dengan nilai-nilai kuat yang relevan dengan masa depan.
Di Indonesia, alumni PINTU Incubator tidak hanya mendapatkan pengajaran mengenai cara membuat koleksi, tetapi juga cara mengemas narasi, membangun merek yang kuat, hingga memahami pasar global. Sejumlah desainer yang berpartisipasi di PINTU berhasil memamerkan koleksi mereka di ajang internasional bergengsi seperti Première Classe Paris – sebuah pameran dagang fashion yang menjadi salah satu gerbang utama untuk menembus pasar Eropa. Tanpa pendampingan dan jejaring yang disediakan program inkubasi, kesempatan seperti itu akan sulit dicapai secara mandiri.
Kolaborasi dan program yang diadakan PINTU Incubator tidak sekedar memberi kesempatan bagi masing-masing desainer untuk mendapat edukasi budaya dan mode dari negara lain. Inisiatif seperti PINTU Incubator menjadi poros utama yang menggerakkan dialog mengenai fashion – baik di tanah air dan mancanegara. Didukung oleh Institut Français d’Indonésie (IFI), sebagai perpanjangan tangan diplomasi budaya Prancis, program ini menawarkan lebih dari sekadar pelatihan. Tentunya, program tersebut dapat terwujud melalui peranan penting École Duperré Paris yang membawa standar akademis dan teknis dari Prancis.
Dengan demikian, diplomasi mode ini berhasil menciptakan lingkaran penuh: PINTU Incubator memfasilitasi pertemuan, IFI menguatkan hubungan bilateral, dan École Duperré menjadi simpul pertukaran pengetahuan yang vital. Melalui kolaborasi ini, savoir-faire dari kedua negara tidak hanya terlestarikan, tetapi juga diperkaya oleh perpaduan perspektif yang unik. Hadir sebagai tiga serangkai strategis, ketiganya tidak sekedar memfasilitasi pertukaran desainer – melainkan juga menyediakan platform resmi yang menjembatani keahlian, visi, dan filosofi dari kedua negara. Kolaborasi ini turut memastikan bahwa kemiripan nilai-nilai yang ada dapat diubah menjadi sebuah sinergi nyata yang mendorong inovasi, diplomasi budaya, dan pertumbuhan industri mode global. Satu hal yang perlu diingat adalah kolaborasi ini merupakan kunci utama mengatasi tantangan yang selama ini menghambat industri mode Indonesia menembus pasar global yang dapat menciptakan peningkatan kualitas dan standar, penguatan jejaring global sekaligus pelestarian budaya.
Desainer Fashion Sebagai Mata Rantai Hidup Penghubung Warisan Mode

Hubungan antara savoir-faire Indonesia dan Prancis dengan para desainer muda yang berpartisipasi dalam program PINTU sangatlah erat, di mana para desainer ini berfungsi sebagai mata rantai hidup yang menghubungkan kedua warisan tersebut. Gambaran ini dapat kita lihat pada desainer Maria Grazia Chiuri saat masih menjabat sebagai Creative Director di Dior melalui upayanya memberikan visibilitas dan nilai ekonomi bagi kerajinan tangan yang terancam punah saat bekerja sama dengan sekolah bordir Chanakya di Mumbai, India. Di satu sisi, desainer muda Indonesia adalah pewaris savoir-faire budaya mereka, seperti keahlian membatik dan menenun yang diturunkan secara turun-temurun. Melalui program PINTU, mereka mendapatkan akses ke savoir-faire Prancis dalam hal metodologi desain, standar profesional, dan strategi bisnis. Ini memungkinkan mereka untuk mengolah kekayaan tradisi lokal menjadi produk yang tidak hanya otentik, tetapi juga relevan dan berdaya saing di pasar global.
Bagi Prancis, desainer muda mereka yang berpartisipasi dalam program PINTU Incubator mendapatkan kesempatan tak ternilai untuk menyerap savoir-faire Indonesia secara langsung. Mereka tidak hanya belajar teknik baru dari para perajin, tetapi juga merasakan inspirasi dari nilai-nilai budaya yang melekat pada setiap helai kain. Proses ini melahirkan karya-karya yang unik, yang menggabungkan presisi dan estetika Prancis dengan kekayaan material serta filosofi Indonesia.
Tentunya, kerjasama ini akan meminimalisir jumlah para desainer muda yang memiliki ide dan talenta kreatif yang luar biasa – tetapi kurang memiliki pemahaman tentang aspek bisnis, manajemen, dan pemasaran. Dengan demikian, para desainer muda ini bukan hanya sekadar peserta, melainkan duta budaya yang mengamalkan savoir-faire dari kedua negara, memastikan warisan berharga ini terus berkembang dan menemukan relevansinya di masa depan. Desainer bukanlah sekadar pencipta produk, melainkan penerus dan penjaga yang memastikan tradisi serta kekayaan budaya tetap relevan di era modern.
Namun. kita juga tidak boleh luput akan masalah fundamental yang dihadapi oleh para desainer fashion di Indonesia – yaitu persepsi kebanyakan masyarakat mengenai bidang fashion yang dianggap kurang memiliki masa depan dan hanya dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor sosial, ekonomi, dan edukasional yang telah mengakar kuat. Sebagian besar masyarakat belum memahami kompleksitas industri fashion. Mereka hanya melihat sisi glamornya di atas runway atau di media sosial, tanpa menyadari bahwa ini adalah sebuah ekosistem bisnis yang luas dan terintegrasi. Mereka tidak melihat peran penting dari profesi lain, seperti desainer tekstil, manajer rantai pasokan, fashion marketing, hingga fashion stylist. Kurangnya wawasan ini membuat mereka memandang rendah pekerjaan yang dianggap hanya sebatas “menjahit baju.”
Persepsi bahwa fashion adalah profesi yang tidak stabil atau kurang prestisius sering kali membuat banyak talenta muda berbakat enggan untuk memilih jalur ini. Para desainer muda yang memiliki potensi kreatif besar mungkin menghadapi tekanan dari keluarga atau lingkungan mereka untuk mengejar karier yang lebih “aman” dan tradisional seperti dokter, insinyur, atau pegawai bank. Hal ini menjadi tantangan besar bagi program inkubasi dalam merekrut peserta terbaik yang mau berkomitmen penuh pada industri ini.
Pada akhirnya, program inkubasi seperti yang diinisiasi PINTU Incubator memiliki misi ganda. Selain mengedukasi desainer tentang aspek bisnis dan kreativitas, mereka juga secara aktif melakukan edukasi publik. Inisiator dan pelaku industri harus terus-menerus menunjukkan kepada masyarakat bahwa industri fashion adalah ekosistem yang kompleks, melibatkan keahlian teknis, manajemen rantai pasokan, strategi pemasaran, dan teknologi. Melalui keberhasilan alumni mereka di panggung internasional, program ini berharap dapat mematahkan stigma dan membuktikan bahwa fashion adalah sebuah karier yang berharga dan memiliki masa depan yang cerah. Kesuksesan finansial dan pengakuan yang diraih para desainer di panggung global menjadi alat paling efektif untuk melawan stigma negatif. Dengan mengubah bakat menjadi bisnis yang sukses, mereka secara langsung menunjukkan kepada masyarakat bahwa industri fashion adalah jalur karier yang valid, bermartabat, dan strategis. Melihat hal tersebut, desainer harus berjuang melawan momok persepsi ini agar dapat sepenuhnya menjalankan peran mereka sebagai penjaga, inovator, dan penerus yang vital bagi warisan mode bangsa.
Merajut Masa Depan Mode Antara Dua Bangsa

Kerjasama antara Indonesia – Prancis dalam bidang mode tercipta dari hubungan antara seluruh entitas ini adalah sebuah proses yang saling terhubung, di mana PINTU Incubator, IFI, dan École Duperré bersama-sama berperan sebagai alat dan benang untuk merajut budaya kedua negara melalui satu filosofi inti yang menjadi benang merah kedua negara: budaya fashion yang kaya dan diwariskan secara turun-temurun atau disebut dengan savoir-faire.
Hubungan kerja sama ini memiliki pengaruh yang mendalam terhadap masa depan kedua bangsa di bidang mode. Kolaborasi ini lebih dari sekadar kolaborasi bisnis – melainkan sebuah misi yang bertujuan untuk mengubah narasi, mengukir jalan baru, dan membentuk masa depan yang saling terhubung. Peran PINTU Incubator sebagai “Alat Tenun” Utama (menyediakan struktur, kurikulum, dan fasilitasi dan menjadi pusat di mana semua elemen seperti desainer muda, mentor, dan tradisi bertemu), IFI sebagai “Jarum Diplomatik” (perwakilan Pemerintah Prancis yang merupakan inisiator dan pendukung resmi yang memberikan legitimasi pada kolaborasi ini) dan École Duperré sebagai “Benang Emas” Akademis (membawa keahlian teknis dan standar profesional Prancis ke dalam kolaborasi pertukaran desainer dan mentor yang menyumbangkan benang emas berupa metodologi desain modern, pengetahuan pasar global, dan estetika yang teruji).
Dalam proses ini, para desainer muda Indonesia membawa ‘benang-benang warisan’ mereka—motif batik, teknik tenun, dan lainnya—ke platform PINTU. Di sana, mereka belajar cara merajutnya dengan ‘benang-benang modern’ dari Prancis – seperti teknik konstruksi garmen yang presisi dan strategi branding yang efektif. Sebaliknya, desainer Prancis mendapatkan pengalaman langsung dengan budaya Indonesia, yang menginspirasi mereka untuk merajut ide-ide baru ke dalam koleksi mereka. Pada akhirnya, hasil dari kolaborasi ini adalah sebuah “kain” unik berupa karya fashion yang tidak hanya indah secara estetika – tetapi juga kaya akan narasi budaya, berakar pada tradisi, namun relevan untuk pasar global. Ini adalah bukti nyata bahwa warisan dapat berkembang melalui dialog yang saling menghargai.
Bagi Indonesia, kerja sama ini secara fundamental mengubah masa depan mode Indonesia dari posisi pasif menjadi aktif di panggung global. Melalui program ini, berbagai karya mode desainer tanah air akan naik level dari bahan baku menjadi aset budaya dan mengubah takdir desainer muda Indonesia yang tadinya terhambat oleh keterbatasan modal dan jejaring. Mereka kini dipersiapkan secara holistik untuk menjadi pelaku yang matang, mampu menembus pasar internasional, dan mengubah takdir brand mereka sendiri dari skala lokal menjadi global. Sedangkan bagi Prancis, kolaborasi ini memastikan masa depan mereka sebagai pusat mode dunia terus berlanjut dan relevan di era yang semakin kolaboratif. Dari hegemoni menuju sinergi, kolaborasi ini membuktikan bahwa masa depan kemewahan ada pada keterbukaan dan sinergi. Dengan merangkul dan berinteraksi dengan budaya lain, Prancis memperkaya kreativitasnya sendiri dan menghindari stagnasi. Selain itu, kerja sama ini membentuk takdir baru bagi industri mewah Prancis, yang kini dapat didefinisikan ulang sebagai sesuatu yang tidak hanya eksklusif, tetapi juga otentik, etis, dan menghargai keragaman budaya. Ini adalah langkah strategis untuk memastikan dominasi mereka bertahan di masa depan.
Pada akhirnya, masa depan mode kedua bangsa dirajut menjadi satu. Mereka tidak lagi bergerak di jalurnya masing-masing, tetapi bersama-sama membangun sebuah model baru untuk industri global—model yang berlandaskan pada dialog, saling menghargai, dan keyakinan bahwa warisan paling berharga adalah yang terus hidup dan berkembang bersama. Dengan serangkaian program dan pencapaian yang terus berkembang, PINTU Incubator berdiri sebagai model inkubasi mode yang tidak hanya relevan, tetapi juga visioner. Bukan sekadar program pelatihan – ia adalah PINTU antar bangsa, antar generasi, dan antar pemikiran. Di sinilah masa depan mode Indonesia dibentuk: kolaboratif, berakar budaya, dan siap menembus dunia. Singkat kata, PINTU Incubator bukan sekadar membuka jalan bagi kedua negara, tetapi juga mengedukasi masyarakat akan pentingnya peranan fashion di sektor kreatif melalui savoir-faire atau keterampilan mendalam yang diwariskan lintas generasi sebagai bentuk komitmen mewujudkan ekosistem fashion yang kuat dan terkoneksi dengan ekosistem fashion global di tahun keempatnya.