Yulius Iskandar: Senikanji, Warisan Karya dan Fenomena Sosial

6 min read

“Jangan Mengeluh Kopimu Dingin. Dia Pernah Hangat, Tapi Kau Diamkan”. Kata-kata sarkas nan jenaka tersebut terpampang di dalam sebuah poster bergaya kalender khas Tiongkok dengan karakter huruf Mandarin yang berbaris rapi di bawah ilustrasi seorang perempuan yang berpangku tangan meratapi nasib percintaannya. Poster tersebut dapat ditemui di sejumlah kedai kopi di Indonesia atau melalui t-shirt yang kerap lalu lalang di berbagai festival musik ternama di Indonesia. Di tengah hiruk pikuk industri kreatif Indonesia, nama Senikanji kian meroket sebagai jenama seni yang unik dan sangat mudah dikenali melalui ciri khas desainnya.

Didasarkan pada ilustrasi bergaya vintage dan kutipan-kutipan sehari-hari yang relatable, Senikanji kini tidak hanya menjadi karya yang dipajang di kedai kopi semata, tetapi juga menjadi merchandise yang dikenakan banyak anak muda. Perjalanan brand ini tak lepas dari peran pendirinya, mendiang Paulus Supomo (Pouw Ho Po), yang kini dilanjutkan oleh sang putra, Yulius Iskandar.

Ketika The Societies bertemu dengan Yulius di acara Jakarta Doodle Fest 2025 yang diadakan pada 9-12 Oktober 2025 di TPH, Senayan City, kami mengingat momen perkenalan pertama dengan jenama seni yang berasal dari Bandung, Jawa Barat ini. Berbagai artwork yang terpampang di meja display membawa kembali kenangan The Societies yang mengenal Senikanji melalui media sosial di tahun 2021 dan langsung tertarik dengan keunikan brand tersebut yang menggabungkan karakter Mandarin, street culture, humor dalam karya seni yang didominasi warna biru, hitam dan merah dengan latar belakang putih.

Courtesy of Rici Linde

Melihat deretan humor yang diselipkan di setiap karya Senikanji, siapa sangka ada sebuah kisah haru nan menyentuh yang terdapat di dalamnya. Di balik ilustrasi bergaya kalender Tiongkok kuno dengan sentuhan kanji yang vintage, tersimpan kisah kolaborasi singkat namun abadi antara seorang ayah dan anak. Tidak sekedar menjadi brand seni populer semata, Senikanji menjadi rumah bagi curahan hati dan refleksi kehidupan Yulius, yang berjuang menjaga api warisan mendiang ayahnya, Supomo, agar tetap menyala.

Dalam sesi one-on-one interview bersama The Societies, Yulius menuturkan awal mula lahirnya Senikanji yang lahir dari persinggungan dua generasi seniman. Sang seniman bercerita bahwa semua berawal dari minatnya terhadap gambar dengan karakter mural dan graffiti, namun ia merasa kurang percaya diri dengan ilustrasi makhluk hidup untuk menemani tulisan-tulisannya. “Saya memang ingin tulisan saya ini ada ilustrasinya. Tapi ketika saya mengilustrasikan dari kata-kata ini, rasanya kurang cocok,” tuturnya.

Titik balik tercipta ketika Yulius “meminjam tangan” ayahnya – Almarhum Supomo, yang saat itu sedang mengambil kursus Bahasa Mandarin, untuk mengilustrasikan kata-kata (quotes) yang ada di kepalanya. Melalui gambar vintage khas Supomo, sebuah ilustrasi yang berpadu apik dengan tulisan Yulius pun tercipta.

Gaya ini kemudian dipadukan dengan aksara Tiongkok (Kanji) sebagai elemen khas. Nama “Senikanji” dipilih Yulius karena mudah diingat dan merepresentasikan proyek kesenian yang memiliki ciri khas huruf kanji di setiap karyanya. Kolaborasi unik antara ide Yulius (yang banyak terinspirasi dari curhatan pribadi, kisah nyata, dan fenomena sosial) serta eksekusi bergaya kalender khas Tiongkok oleh Supomo inilah yang melahirkan identitas kuat Seni Kanji.

Courtesy of Instagram/@senikanji

Karakteristik khas dari Senikanji adalah semua kata-kata, mulai dari “Utamakan Sarapan Dibanding Harapan” hingga “Kamu Cantik di Mata Pria yang Bersyukur” adalah curhatan pribadi kebanyakan orang yang seakan ‘menyentil’ fenomena sosial yang kerap terjadi di jaman ini. Ini membuat Senikanji bukan sekadar seni visual, tetapi diary emosional yang secara ajaib terasa relatable bagi banyak orang.

Sayangnya, kehangatan kolaborasi Ayah dan Anak ini harus terhenti. Yulius hanya berkolaborasi dengan ayahnya selama satu setengah tahun sebelum Supomo meninggal dunia pada tahun 2021. Seketika, Julius memikul beban ganda: duka kehilangan sekaligus tanggung jawab untuk menjaga warisan mendiang ayahnya.

Untuk mempertahankan legasi ini, Yulius berkomitmen untuk menjaga warisan karya seni peninggalan sang ayah melalui berbagai kolaborasi dan inovasi. “Saya alih mediakan ke berbagai produk, tapi tetap relevan ngikutin perkembangan zaman,” ujarnya. Dari art print dan t-shirt, karya Supomo diolah menjadi kolaborasi produk lain, seperti red diffuser dan parfum, bahkan edisi terbatas yang merefleksikan fenomena sosial terkini (seperti edisi warna bright pink dan herald green sebagai penghormatan terhadap perjuangan rakyat di demo besar yang terjadi pada Agustus 2025).

Yulius tidak hanya mengolah aset peninggalan ayahnya. Ia juga memastikan proses kreatif terus berjalan. Meskipun aset gambar lama terbatas, ia selalu mendapatkan ide quotes baru setiap hari dan mampu menggambar ulang dengan menjaga style visual yang sudah menjadi trademark Seni Kanji—yakni layout tertentu dengan tiga warna ikonik. Berbagai inovasi dan kolaborasi telah dilakukan sang seniman, seperti mengolah aset gambar lama dan juga berkolaborasi dengan seniman dan brand lain (misalnya Ramayana, Ejji Coffee House hingga Bakmi Sedjuk) dan mengubah aset-aset ilustrasi peninggalan sang ayah menjadi berbagai produk seperti art print, poster, tote bag, t-shirt, hingga kolaborasi dengan produk non-seni (seperti reed diffuser dan parfum) – membuatnya tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Seiring kepopuleran Seni Kanji yang kian meluas—kini banyak ditemukan di coffee shop hingga memiliki reseller di luar Bandung, bahkan di Kuala Lumpur—tantangan besar pun datang: pembajakan. “Kalau yang namanya pembajakan di Indonesia itu memang sudah jadi isu nasional. Semua brand yang sudah terekspos dan dikenal luas akan menghadapi yang namanya piracy,” ungkap Julius dengan nada prihatin.

Meskipun banyak pihak yang menduplikasi karyanya dengan detail yang sangat mirip, Yulius yakin Senikanji dapat berdiri tegak karena satu hal fundamental: otentisitas yang dilindungi hukum. “Kami sudah mendaftarkan hak-hak kekayaan intelektual secara benar,” tegasnya. Perlindungan undang-undang inilah yang memungkinkan Julius menegur dan meminta penarikan produk palsu di marketplace. Ini adalah cara Seni Kanji untuk tidak hanya mempertahankan kualitas, tetapi juga memastikan warisan karya Supomo dihormati.

Courtesy of Rici Linde

Ketika ditanya mengenai makna seni baginya, Yulius memberikan jawaban yang intim: kemerdekaan. “Kemerdekaan berekspresi. Setidaknya seni adalah dunia yang paling merdeka lah untuk aku jalanin sepanjang hidup saya,” terangnya. Meski Senikanji sudah dikenal banyak khalayak, Yulius tidak ingin cepat berpuas diri. Ia melihat playground Seni Kanji masih harus menjelajah dunia global. Rencana terdekat termasuk pameran di Taiwan, hingga keinginan untuk berkolaborasi dengan brand yang lebih besar, seperti mobil listrik. Julius bercita-cita memiliki flagship store di luar Bandung, termasuk Jakarta, untuk semakin mendekatkan karya sang ayah kepada khalayak.

Di akhir percakapan kami, Yulius mengajak masyarakat, terutama anak-anak muda, untuk memantau media sosial Senikanji dan menemukan karya yang mungkin relevan dengan kehidupan mereka. Singkat kata, Senikanji menyelipkan kisah jujur tentang perjuangan dan refleksi kehidupan sehari-hari di balik setiap gambar beraksara kanji yang unik – seperti “Jangan Atur Perilaku Orang Lain, Aturlah Ekspekstasimu” atau “Jika Kamu Belum Memiliki Apa yang Kamu Suka, Maka Mulailah Sukai Apa yang Sudah Kamu Miliki” yang relate dengan keadaan sosial belakangan ini yang dipenuhi kompetisi antar individu dan standar hidup yang kompleks.

You May Also Like

More From Author